Nama : Resti Setianingsih
NPM : 15110771
Kelas : 1KA 31
Mata Kuliah : soft skill
Pembangunan Ekonomi Sebagai Masalah Budaya
Oleh: JUWONO SUDARSONO
Kebudayaan mencakup masalah pertautan etika kerja, nilai-nilai kerja sama, dan nilai-nilai yang berkait dengan kesukuan, keagamaan, dan kedaerahan. Kebudayaan memberi makna hidup, termasuk perubahan-perubahan akibat dahsyatnya kekuatan ekonomi dan teknologi dari negara-negara maju.
GUNA membahas kaitan kebudayaan dan pembangunan ekonomi, para ahli mengkaji “budaya nasional” sebagai bagian proses pembinaan identitas bangsa (“aku orang Indonesia”). Budaya daerah menjadi “acuan perantara” antara “budaya nasional” dan “budaya wilayah” (“aku orang Sumatera, aku orang Sulawesi, dan sebagainya”). Budaya “ikatan primordial” melekat pada suku, agama, dan lingkaran di seluruh Tanah Air (“aku orang Aceh, aku orang Sangir, aku orang Bangka, aku orang Ambon”, dan sebagainya). Salah satu pengamatan penting Soedjatmoko adalah bagaimana “mempertemukan” budaya Barat dengan budaya-budaya Indonesia sehingga terjadi “pembebasan budaya daerah dari kungkungan tradisi”.
Kebudayaan sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi menjadi tema dasar sejumlah karya besar dalam ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu administrasi negara, bahkan ilmu ekonomi itu sendiri sejak 1950-an. Gunnar Myrdal dari Swedia, 1960-an, membandingkan kinerja “negara keras” dan “negara lembek” guna menggambarkan perlunya “negara kuat” mendobrak “mental lembek” pegawai negeri, yang dinilainya menghambat pembangunan nasional. Ahli sosiologi Selo Soemardjan dan ahli antropologi Koentjaraningrat, 1970-an, mengajukan pemikiran pentingnya “sikap mental” dalam pembangunan nasional. Denis Goulet menegaskan pentingnya “pilihan kejam” yang harus ditempuh pimpinan nasional di negara sedang berkembang jika ingin mendatangkan kemakmuran ekonomi. Belakangan (1993), Samuel Huntington menghimpun tulisan sejumlah pakar mancanegara dari berbagai benua dalam Culture Matters (Kebudayaan Itu Penting).
Indonesia hingga kini masih ramai memperdebatkan hubungan timbal balik antara kebudayaan dan pembangunan ekonomi. Perdebatan itu dibahas di kalangan pujangga Indonesia tahun 1930-an dan 1940. Tokoh budaya “pro-Barat”, seperti Armyn Pane, berpolemik dengan tokoh yang memberat pada tradisi, seperti Ali Boediardjo. Perdebatan menarik itu lalu diwacanakan sebagai “kaum keroncongis” dengan “kaum gamelanis”. Pada 1960-an hingga 1970-an, berlanjut menjadi perdebatan musik Indonesia yang merangkul musik Barat dengan mereka yang berpegang pada musik daerah dan suku. Soedjatmoko meramu perdebatan itu melalui rumusan, tiap bangsa dan tiap daerah harus menentukan sendiri seberapa cepat ia ingin merangkul nilai-nilai “modernisasi” dan seberapa banyak ingin mempertahankan nilai-nilai yang penting untuk kelestarian jati dirinya.
APA sebab kebudayaan penting bagi kemajuan ekonomi? Sejarah membuktikan, letak geopolitik yang strategis tidak menjamin sebuah bangsa memanfaatkan letak itu dengan sebaik-baiknya. Sumber daya alam yang beragam dan memasar tak menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi. Bahkan sumber daya alam yang beragam kerap dianggap “kutukan budaya” karena membuat bangsa yang bersangkutan berkurang daya juang.
Mengapa bangsa-bangsa yang letak geopolitiknya kurang strategis dan miskin sumber daya alam (Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura) bisa memajukan dirinya di bidang ekonomi? Jawabnya adalah pada budaya bangsa secara keseluruhan, termasuk disiplin kerja dan ketetapan hati pemimpinnya. Mereka melihat seluruh pelosok dunia
sebagai lahan kerja pencari nafkah. Mereka menggunakan budaya disiplin nasional untuk melakukan “lompatan katak” keluar dari wilayahnya sendiri. Mereka berhasil mengejar “selisih-selisih keunggulan” yang terbuka dalam tantangan perjuangan.
Wajar bila timbul pertanyaan mengapa negara kaya sumber daya alam dan mineral, seperti Brasil dan Indonesia, selalu disebut sebagai bangsa yang “penuh janji” dan “potensial”, tetapi belum mencapai hasil yang diharapkan. Pada tingkat perorangan, kelompok, maupun nasional, agaknya tantangan bagi kedua negara itu untuk memperkuat “budaya pialang” yang memadukan kemauan diri budaya dengan kinerja ekonomi. Pada tingkat nasional, para pemimpin politik kedua bangsa selama berpuluh tahun agaknya hanya “penuh dengan janji” dan lebih banyak “sial” daripada “poten”nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar